Minggu, 20 Maret 2016

GELIAT DAKKA MENCARI JATI DIRINYA. (Sebuah Pengantar Pencarian Culture Identity)



Sebuah fakta yang tak bisa dipungkiri bahwa wilayah afdeling Mandar yang pada hari ini telah menjelma menjadi  provinsi Sulawesi Barat, adalah sebuah daerah yang besar dan kaya akan khasanah sejarah dan budaya. Dengan demikian, sebuah keniscayaan pula jika kebesaran dan kekayaan Sulawesi Barat sejatinya berasal dan ditopang oleh banyaknya etnis maupun sub etnis yang menghuni jazirah Sulawesi bagian Barat ini yang pada gilirannya saling berelaborasi sesuai dengan adat, sejarah maupun kebudayaannya sendiri-sendiri sehingga membentuk suatu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan dalam menjadikan Sulawesi Barat yang besar.

Sayangnya pada hari ini, banyak etnis maupun sub etnis yang kemudian seolah tenggelam dari peredaran kebudayaan meskipun pada dasarnya mereka masih aktif menjaga tradisi mereka walau terbatas pada ruang lingkup yang kecil. Realita ini yang kemudian menjadi dasar kegelisahan para pemuda dan masyarakat penganut kebudayaan yang bersangkutan untuk ikut menggeliat menunjukkan eksistensi mereka. Dan sebagai buah dari kegelisahan itu maka beberapa tahun belakangan ini mulai marak komunitas-komunitas lokal yang mengusung pelestarian sejarah, adat dan budaya mereka sebagai upaya untuk mencari jati diri mereka. Komunitas Pecinta Budaya Dakka (KPBD) salah satunya.

Mungkin tulisan ini bisa dianggap latah sebagai tulisan yang berupaya mengenalkan budaya Dakka ke dunia luar. Sebab tulisan ini lahir jauh setelah pemuda dan pemudi Dakka melakukan upaya tersebut. Tulisan inipun hanya sekedarnya yang dimaksudkan sebagai pengantar dan bersifat asumsi. Untuk selanjutnya dibutuhkan sebuah analisis dan pengkajian ilmiah hingga sesuai dan pantas dijadikan sebuah historiografi. Tapi sekali lagi, apapun usaha itu kami hanya berharap agar tulisan ini bisa menjadi suplemen keilmuan kita dalam memahami budaya Dakka yang bermuara pada motivasi untuk mengantisipasi krisis moral di tengah arus globalisasi dengan cara menghadirkan kearifan lokal dan melestarikan budaya leluhur Dakka yang adiluhung.

Dewasa ini belum ditemukan literatur yang cukup memadahi untuk mengkaji keberadaan suku Dakka secara konprehensif. Pun nasib yang sama ketika berusaha mencari dari sumber luar, membuat akses untuk mengetahui tentang seluk beluk Dakka cenderung tertutup. Sehingga eksistensi mereka dimasa lalu untuk sementara lebih banyak didasarkan pada tradisi tutur masyarakatnya. 

Secuil kisah tentang Dakka bisa didapati pada buku PUS Dalam Imperium Sejarah yang ditulis oleh Sarman Sahudin. Di mana sesepuh masyarakat Dakka konon pernah meminta tolong kepada Sambawa Burio Daeng Majannang, salah seorang pahlawan Betteng Burekkong yang juga pernah bahu membahu dengan I Calo Ammana I Wewang dalam melawan Belanda. Untuk menumpas gerombolan penculik manusia yang akan dijual kepada Belanda sebagai budak yang saat itu sangat meresahkan masyarakat Dakka.

Dari salah satu sumber yang lain pula menyebutkan bahwa Dakka dahulunya merupakan salah satu dari sepuluh distrik lainnya yang dibawahi oleh kerajaan Passokkorang. Sebuah kerajaan yang berpusat di sekitaran sungai Maloso/Mapilli dan memiliki daerah yang cukup luas sebelum kemudian diekspansi dan dihancurkan oleh kerajaan Balanipa. Sayang tidak diketahui pula sumber utama dari keterangan itu. Selebihnya mengenai Dakka belum ada.

Masyarakat Dakka pada awal mulanya memiliki wilayah komunal di sekitar kaki bukit Benato yang saat ini berada dalam wilayah administratif desa Pelitakan, kecamatan Tapango, kabupaten Polewali Mandar. Hipotesa yang melatar belakangi hal ini adalah keberadaan suatu tempat di puncak bukit Benato yang dipercayai sebagai peninggalan Tomakaka Benato yang konon merupakan leluhur orang Dakka. Serta adanya beberapa pemakaman-pemakaman tua yang ada di wilayah yang tidak berjauhan dari bukit Benato yang dipercaya sebagai makam beberapa Aruang (Pemangku adat Dakka jaman dahulu). Lalu perkembangan selanjutnya ( menurut hasil diskusi pada acara Meppo Sipulung VII yang diadakan di Basseang, 20/3/16) masyarakat Dakka kemudian berdiaspora kebeberapa wilayah di antaranya Matakali, Basseang, Manding, Ihing, Binuang, bahkan hingga ke Jepang dan Belanda.

Mereka juga mengklaim bahwa bahasa yang mereka gunakan adalah bahasa Dakka. Sebuah bahasa yang secara sepintas ada kemiripan dengan bahasa Mandar. Tertarik akan hal itu, saya mencoba membuka  hasil penelitian kebahasaan Sulawesi Selatan HISTORICAL STUDY OF PITU ULUNNA SALU Its Position in South Sulawesi Languages Research yang dilakukan oleh peneliti Jepang Masao Yamaguchi pada tahun 2002.

Namun saya tidak mendapati sebuah kepastian klasifikasi bahasa Dakka ini secara pasti menurut pemetaan bahasa oleh R. Salzner, R.F. Mills maupun peneliti lain yang dicantumkan dalam hasil penelitian itu sehingga untuk sementara saya hanya bisa menyimpulkan bahwa bahasa Dakka masuk ke dalam kelompok Sulawesi Selatan, Sub kelompok Saqdang, bahasa Pitu Ulunna Salu, dialeg Dakka.

Atau mungkin juga bahasa Dakka-lah yang dimaksud sebagai Tapango. Sebagaimana kutipan berikut [......] yang dipastikan sebagai bahasa dialek bahasa Pitu Ulunna Salu adalah Bumal, Issilita', Bambang Hulu, Salu Mukanan, Pakkau, Mehalaan, Pattae', dan Matangnga. Sedangkan Aralle, Tabulahan, dan Mambi dianggap dialek dari bahasa Aralle-Tabulahan [Friberg, 1987: 29]. Pannei dianggap juga sebagai satu bahasa yang berdiri sendiri yang terdapat dua dialek, yaitu Bulo dan Tapango
[Friberg, 1987: 29]. Jika demikian maka bahasa Dakka merupakan salah satu dialek dari bahasa Pannei.

Secara umum pola hidup maupun ritual masyarakat Dakka berciri agraris yang tentu saja berhubungan erat dengan mata pencaharian masyarakat Dakka yang berorientasi pada sektor agraris atau pertanian. Sebagian ada yang mengelola lahan perkebunan, ladang, sawah maupun tambak meskipun dewasa ini telah banyak pula yang berprofesi sebagai pedagang, pegawai maupun pengusaha.

Demikianlah tulisan yang singkat ini. Sekali lagi tulisan ini hanya pengantar dan sebagai motivasi kepada generasi muda khususnya generasi muda Dakka untuk bergiat menggali kesejarahannya tanpa perlu merasa sungkan. Pun jika dalam tulisan singkat ini ada kekeliruan, maka sangat diharapkan untuk memberi  masukan agar ke depannya dapat dilakukan perbaikan sebagaimana mestinya. Sebuah harapan juga bahwa ke depannya akan ada tulisan yang layak menjadi sumber referensi tentang budaya tradisional Dakka dalam hal ini sebagai contoh adalah struktur kemasyarakatan, kesenian maupun upacara adat.

Bukankah negara telah menjamin di dalam amandemen keempat Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia tahun 1945 pasal 32 ayat 1 yang menyebutkan bahwa “Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya”.
Olehnya itu, mari gali budaya dan sejarah kita lalu tuliskan. Agar generasi kita yang berikutnya tidak lagi bersusah payah dalam menemukan jati diri dan identitas budayanya sehingga ke depannya bisa menjadi generasi yang lebih baik dari generasi kita hari ini.
Salam Budaya !.
Odi Ada Odi Biasa. Sipakaraya Dilalangna Assamalebuang.