Sebuah fakta yang tak bisa
dipungkiri bahwa wilayah afdeling Mandar yang pada hari ini telah menjelma
menjadi provinsi Sulawesi Barat, adalah
sebuah daerah yang besar dan kaya akan khasanah sejarah dan budaya. Dengan demikian,
sebuah keniscayaan pula jika kebesaran dan kekayaan Sulawesi Barat sejatinya
berasal dan ditopang oleh banyaknya etnis maupun sub etnis yang menghuni
jazirah Sulawesi bagian Barat ini yang pada gilirannya saling berelaborasi
sesuai dengan adat, sejarah maupun kebudayaannya sendiri-sendiri sehingga
membentuk suatu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan dalam menjadikan Sulawesi
Barat yang besar.
Sayangnya pada hari ini, banyak
etnis maupun sub etnis yang kemudian seolah tenggelam dari peredaran kebudayaan
meskipun pada dasarnya mereka masih aktif menjaga tradisi mereka walau terbatas
pada ruang lingkup yang kecil. Realita ini yang kemudian menjadi dasar
kegelisahan para pemuda dan masyarakat penganut kebudayaan yang bersangkutan
untuk ikut menggeliat menunjukkan eksistensi mereka. Dan sebagai buah dari
kegelisahan itu maka beberapa tahun belakangan ini mulai marak
komunitas-komunitas lokal yang mengusung pelestarian sejarah, adat dan budaya
mereka sebagai upaya untuk mencari jati diri mereka. Komunitas Pecinta Budaya
Dakka (KPBD) salah satunya.
Mungkin tulisan ini bisa dianggap
latah sebagai tulisan yang berupaya mengenalkan budaya Dakka ke dunia luar.
Sebab tulisan ini lahir jauh setelah pemuda dan pemudi Dakka melakukan upaya
tersebut. Tulisan inipun hanya sekedarnya yang dimaksudkan sebagai pengantar
dan bersifat asumsi. Untuk selanjutnya dibutuhkan sebuah analisis dan
pengkajian ilmiah hingga sesuai dan pantas dijadikan sebuah historiografi. Tapi
sekali lagi, apapun usaha itu kami hanya berharap agar tulisan ini bisa menjadi
suplemen keilmuan kita dalam memahami budaya Dakka yang bermuara pada motivasi untuk
mengantisipasi krisis moral di tengah arus globalisasi dengan cara menghadirkan
kearifan lokal dan melestarikan budaya leluhur Dakka yang adiluhung.
Dewasa ini belum ditemukan
literatur yang cukup memadahi untuk mengkaji keberadaan suku Dakka secara
konprehensif. Pun nasib yang sama ketika berusaha mencari dari sumber luar,
membuat akses untuk mengetahui tentang seluk beluk Dakka cenderung tertutup. Sehingga
eksistensi mereka dimasa lalu untuk sementara lebih banyak didasarkan pada
tradisi tutur masyarakatnya.
Secuil kisah tentang Dakka bisa
didapati pada buku PUS Dalam Imperium Sejarah yang ditulis oleh Sarman Sahudin.
Di mana sesepuh masyarakat Dakka konon pernah meminta tolong kepada Sambawa
Burio Daeng Majannang, salah seorang pahlawan Betteng Burekkong yang juga
pernah bahu membahu dengan I Calo Ammana I Wewang dalam melawan Belanda. Untuk
menumpas gerombolan penculik manusia yang akan dijual kepada Belanda sebagai
budak yang saat itu sangat meresahkan masyarakat Dakka.
Dari salah satu sumber yang lain pula
menyebutkan bahwa Dakka dahulunya merupakan salah satu dari sepuluh distrik
lainnya yang dibawahi oleh kerajaan Passokkorang. Sebuah kerajaan yang berpusat
di sekitaran sungai Maloso/Mapilli dan memiliki daerah yang cukup luas sebelum
kemudian diekspansi dan dihancurkan oleh kerajaan Balanipa. Sayang tidak
diketahui pula sumber utama dari keterangan itu. Selebihnya mengenai Dakka
belum ada.
Masyarakat Dakka pada awal mulanya
memiliki wilayah komunal di sekitar kaki bukit Benato yang saat ini berada
dalam wilayah administratif desa Pelitakan, kecamatan Tapango, kabupaten
Polewali Mandar. Hipotesa yang melatar belakangi hal ini adalah keberadaan suatu
tempat di puncak bukit Benato yang dipercayai sebagai peninggalan Tomakaka
Benato yang konon merupakan leluhur orang Dakka. Serta adanya beberapa
pemakaman-pemakaman tua yang ada di wilayah yang tidak berjauhan dari bukit
Benato yang dipercaya sebagai makam beberapa Aruang (Pemangku adat Dakka jaman
dahulu). Lalu perkembangan selanjutnya ( menurut hasil diskusi pada acara Meppo
Sipulung VII yang diadakan di Basseang, 20/3/16) masyarakat Dakka kemudian
berdiaspora kebeberapa wilayah di antaranya Matakali, Basseang, Manding, Ihing,
Binuang, bahkan hingga ke Jepang dan Belanda.
Mereka
juga mengklaim bahwa bahasa yang mereka gunakan adalah bahasa Dakka. Sebuah
bahasa yang secara sepintas ada kemiripan dengan bahasa Mandar. Tertarik akan
hal itu, saya mencoba membuka hasil
penelitian kebahasaan Sulawesi Selatan HISTORICAL
STUDY OF PITU ULUNNA SALU Its Position in South Sulawesi Languages Research yang dilakukan oleh peneliti Jepang Masao Yamaguchi pada tahun 2002.
Namun
saya tidak mendapati sebuah kepastian klasifikasi bahasa Dakka ini secara pasti
menurut pemetaan bahasa oleh R. Salzner, R.F. Mills maupun peneliti
lain yang dicantumkan dalam hasil penelitian itu sehingga untuk sementara saya
hanya bisa menyimpulkan bahwa bahasa Dakka masuk ke dalam kelompok Sulawesi
Selatan, Sub kelompok Saqdang, bahasa Pitu Ulunna Salu, dialeg Dakka.
Atau
mungkin juga bahasa Dakka-lah yang dimaksud sebagai Tapango. Sebagaimana kutipan berikut
[......] yang dipastikan sebagai bahasa dialek bahasa Pitu Ulunna Salu adalah Bumal,
Issilita', Bambang Hulu, Salu Mukanan, Pakkau, Mehalaan, Pattae', dan
Matangnga. Sedangkan Aralle, Tabulahan, dan Mambi dianggap dialek dari bahasa
Aralle-Tabulahan [Friberg, 1987: 29]. Pannei dianggap juga sebagai satu bahasa
yang berdiri sendiri yang terdapat dua dialek, yaitu Bulo dan Tapango
[Friberg,
1987: 29]. Jika demikian maka bahasa Dakka merupakan salah satu dialek dari
bahasa Pannei.
Secara
umum pola hidup maupun ritual masyarakat Dakka berciri agraris yang tentu saja
berhubungan erat dengan mata pencaharian masyarakat Dakka yang berorientasi
pada sektor agraris atau pertanian. Sebagian ada yang mengelola lahan
perkebunan, ladang, sawah maupun tambak meskipun dewasa ini telah banyak pula
yang berprofesi sebagai pedagang, pegawai maupun pengusaha.
Demikianlah tulisan yang singkat
ini. Sekali lagi tulisan ini hanya pengantar dan sebagai motivasi kepada
generasi muda khususnya generasi muda Dakka untuk bergiat menggali
kesejarahannya tanpa perlu merasa sungkan. Pun jika dalam tulisan singkat ini
ada kekeliruan, maka sangat diharapkan untuk memberi masukan agar ke depannya dapat dilakukan
perbaikan sebagaimana mestinya. Sebuah harapan juga bahwa ke depannya akan ada
tulisan yang layak menjadi sumber referensi tentang budaya tradisional Dakka
dalam hal ini sebagai contoh adalah struktur kemasyarakatan, kesenian maupun
upacara adat.
Bukankah negara telah menjamin di
dalam amandemen keempat Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia
tahun 1945 pasal 32 ayat 1 yang menyebutkan bahwa “Negara memajukan kebudayaan
nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan
masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya”.
Olehnya itu, mari gali budaya dan
sejarah kita lalu tuliskan. Agar generasi kita yang berikutnya tidak lagi
bersusah payah dalam menemukan jati diri dan identitas budayanya sehingga ke
depannya bisa menjadi generasi yang lebih baik dari generasi kita hari ini.
Salam Budaya !.
Odi Ada Odi Biasa. Sipakaraya
Dilalangna Assamalebuang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar