Minggu, 20 Maret 2016

GELIAT DAKKA MENCARI JATI DIRINYA. (Sebuah Pengantar Pencarian Culture Identity)



Sebuah fakta yang tak bisa dipungkiri bahwa wilayah afdeling Mandar yang pada hari ini telah menjelma menjadi  provinsi Sulawesi Barat, adalah sebuah daerah yang besar dan kaya akan khasanah sejarah dan budaya. Dengan demikian, sebuah keniscayaan pula jika kebesaran dan kekayaan Sulawesi Barat sejatinya berasal dan ditopang oleh banyaknya etnis maupun sub etnis yang menghuni jazirah Sulawesi bagian Barat ini yang pada gilirannya saling berelaborasi sesuai dengan adat, sejarah maupun kebudayaannya sendiri-sendiri sehingga membentuk suatu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan dalam menjadikan Sulawesi Barat yang besar.

Sayangnya pada hari ini, banyak etnis maupun sub etnis yang kemudian seolah tenggelam dari peredaran kebudayaan meskipun pada dasarnya mereka masih aktif menjaga tradisi mereka walau terbatas pada ruang lingkup yang kecil. Realita ini yang kemudian menjadi dasar kegelisahan para pemuda dan masyarakat penganut kebudayaan yang bersangkutan untuk ikut menggeliat menunjukkan eksistensi mereka. Dan sebagai buah dari kegelisahan itu maka beberapa tahun belakangan ini mulai marak komunitas-komunitas lokal yang mengusung pelestarian sejarah, adat dan budaya mereka sebagai upaya untuk mencari jati diri mereka. Komunitas Pecinta Budaya Dakka (KPBD) salah satunya.

Mungkin tulisan ini bisa dianggap latah sebagai tulisan yang berupaya mengenalkan budaya Dakka ke dunia luar. Sebab tulisan ini lahir jauh setelah pemuda dan pemudi Dakka melakukan upaya tersebut. Tulisan inipun hanya sekedarnya yang dimaksudkan sebagai pengantar dan bersifat asumsi. Untuk selanjutnya dibutuhkan sebuah analisis dan pengkajian ilmiah hingga sesuai dan pantas dijadikan sebuah historiografi. Tapi sekali lagi, apapun usaha itu kami hanya berharap agar tulisan ini bisa menjadi suplemen keilmuan kita dalam memahami budaya Dakka yang bermuara pada motivasi untuk mengantisipasi krisis moral di tengah arus globalisasi dengan cara menghadirkan kearifan lokal dan melestarikan budaya leluhur Dakka yang adiluhung.

Dewasa ini belum ditemukan literatur yang cukup memadahi untuk mengkaji keberadaan suku Dakka secara konprehensif. Pun nasib yang sama ketika berusaha mencari dari sumber luar, membuat akses untuk mengetahui tentang seluk beluk Dakka cenderung tertutup. Sehingga eksistensi mereka dimasa lalu untuk sementara lebih banyak didasarkan pada tradisi tutur masyarakatnya. 

Secuil kisah tentang Dakka bisa didapati pada buku PUS Dalam Imperium Sejarah yang ditulis oleh Sarman Sahudin. Di mana sesepuh masyarakat Dakka konon pernah meminta tolong kepada Sambawa Burio Daeng Majannang, salah seorang pahlawan Betteng Burekkong yang juga pernah bahu membahu dengan I Calo Ammana I Wewang dalam melawan Belanda. Untuk menumpas gerombolan penculik manusia yang akan dijual kepada Belanda sebagai budak yang saat itu sangat meresahkan masyarakat Dakka.

Dari salah satu sumber yang lain pula menyebutkan bahwa Dakka dahulunya merupakan salah satu dari sepuluh distrik lainnya yang dibawahi oleh kerajaan Passokkorang. Sebuah kerajaan yang berpusat di sekitaran sungai Maloso/Mapilli dan memiliki daerah yang cukup luas sebelum kemudian diekspansi dan dihancurkan oleh kerajaan Balanipa. Sayang tidak diketahui pula sumber utama dari keterangan itu. Selebihnya mengenai Dakka belum ada.

Masyarakat Dakka pada awal mulanya memiliki wilayah komunal di sekitar kaki bukit Benato yang saat ini berada dalam wilayah administratif desa Pelitakan, kecamatan Tapango, kabupaten Polewali Mandar. Hipotesa yang melatar belakangi hal ini adalah keberadaan suatu tempat di puncak bukit Benato yang dipercayai sebagai peninggalan Tomakaka Benato yang konon merupakan leluhur orang Dakka. Serta adanya beberapa pemakaman-pemakaman tua yang ada di wilayah yang tidak berjauhan dari bukit Benato yang dipercaya sebagai makam beberapa Aruang (Pemangku adat Dakka jaman dahulu). Lalu perkembangan selanjutnya ( menurut hasil diskusi pada acara Meppo Sipulung VII yang diadakan di Basseang, 20/3/16) masyarakat Dakka kemudian berdiaspora kebeberapa wilayah di antaranya Matakali, Basseang, Manding, Ihing, Binuang, bahkan hingga ke Jepang dan Belanda.

Mereka juga mengklaim bahwa bahasa yang mereka gunakan adalah bahasa Dakka. Sebuah bahasa yang secara sepintas ada kemiripan dengan bahasa Mandar. Tertarik akan hal itu, saya mencoba membuka  hasil penelitian kebahasaan Sulawesi Selatan HISTORICAL STUDY OF PITU ULUNNA SALU Its Position in South Sulawesi Languages Research yang dilakukan oleh peneliti Jepang Masao Yamaguchi pada tahun 2002.

Namun saya tidak mendapati sebuah kepastian klasifikasi bahasa Dakka ini secara pasti menurut pemetaan bahasa oleh R. Salzner, R.F. Mills maupun peneliti lain yang dicantumkan dalam hasil penelitian itu sehingga untuk sementara saya hanya bisa menyimpulkan bahwa bahasa Dakka masuk ke dalam kelompok Sulawesi Selatan, Sub kelompok Saqdang, bahasa Pitu Ulunna Salu, dialeg Dakka.

Atau mungkin juga bahasa Dakka-lah yang dimaksud sebagai Tapango. Sebagaimana kutipan berikut [......] yang dipastikan sebagai bahasa dialek bahasa Pitu Ulunna Salu adalah Bumal, Issilita', Bambang Hulu, Salu Mukanan, Pakkau, Mehalaan, Pattae', dan Matangnga. Sedangkan Aralle, Tabulahan, dan Mambi dianggap dialek dari bahasa Aralle-Tabulahan [Friberg, 1987: 29]. Pannei dianggap juga sebagai satu bahasa yang berdiri sendiri yang terdapat dua dialek, yaitu Bulo dan Tapango
[Friberg, 1987: 29]. Jika demikian maka bahasa Dakka merupakan salah satu dialek dari bahasa Pannei.

Secara umum pola hidup maupun ritual masyarakat Dakka berciri agraris yang tentu saja berhubungan erat dengan mata pencaharian masyarakat Dakka yang berorientasi pada sektor agraris atau pertanian. Sebagian ada yang mengelola lahan perkebunan, ladang, sawah maupun tambak meskipun dewasa ini telah banyak pula yang berprofesi sebagai pedagang, pegawai maupun pengusaha.

Demikianlah tulisan yang singkat ini. Sekali lagi tulisan ini hanya pengantar dan sebagai motivasi kepada generasi muda khususnya generasi muda Dakka untuk bergiat menggali kesejarahannya tanpa perlu merasa sungkan. Pun jika dalam tulisan singkat ini ada kekeliruan, maka sangat diharapkan untuk memberi  masukan agar ke depannya dapat dilakukan perbaikan sebagaimana mestinya. Sebuah harapan juga bahwa ke depannya akan ada tulisan yang layak menjadi sumber referensi tentang budaya tradisional Dakka dalam hal ini sebagai contoh adalah struktur kemasyarakatan, kesenian maupun upacara adat.

Bukankah negara telah menjamin di dalam amandemen keempat Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia tahun 1945 pasal 32 ayat 1 yang menyebutkan bahwa “Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya”.
Olehnya itu, mari gali budaya dan sejarah kita lalu tuliskan. Agar generasi kita yang berikutnya tidak lagi bersusah payah dalam menemukan jati diri dan identitas budayanya sehingga ke depannya bisa menjadi generasi yang lebih baik dari generasi kita hari ini.
Salam Budaya !.
Odi Ada Odi Biasa. Sipakaraya Dilalangna Assamalebuang.

Sabtu, 12 Desember 2015

PASSOKKORANG, SIAPAKAH ENGKAU??

Selama ini khasanah sejarah khususnya jaman kerajaan di tanah Mandar cenderung  dimonopoli oleh federasi kerajaan-kerajaan Mandar pesisir atau bisa disebut Pitu Babbana Binanga (PBB), terkhusus oleh kerajaan Balanipa. Berbagai cerita tentang keagungan dan kehebatan kerajaan Balanipa sangat mudah kita dapati dari literatur atau alur tutur sejarawan termasuk manuskrip-manuskrip lontar. Sementara itu di sisi lain kita akan kesulitan menemukan kisah maupun tulisan lontar mengenai beberapa kerajaan lain yang notabene lebih dahulu berdiri dibandingkan dengan kerajaan Balanipa. Sebut saja salah satunya, Passokkorang.

Bisa dikatakan bahwa kerajaan Passokkkorang merupakan salah satu pemicu berdirinya kerajaan Balanipa. Namun kemudian, seperti disebutkan di atas bahwa sangat sedikit kisah tentang kerajaan tua ini kecuali sekelumit kisahnya sebagai kerajaan yang dzalim dan semena-mena terutama kepada daerah-daerah kecil disekitarnya.

Dari informasi yang terdapat di dalam lontar Pattaudioloang diketahui bahwa saking pengacaunya orang-orang Passokkorang, sehingga jika masyarakat di daerah sekitar Appeq Banua Kayyang (Napo, Mosso, Todang-todang dan Samasundu) ada yang mendirikan rumah maka jika rumah itu selesai diwaktu sore hari maka akan dihancurkan oleh orang Passokkorang pada pagi harinya. Demikian pula jika rumah itu selesai dibangun pada pagi hari, maka akan dihancurkan pula oleh orang-orang Passokkorang pada sore harinya. Sehingga kemudian para Tomakaka di Appeq Banua Kayyang berunding dan memutuskan untuk memanggil I Manyambungi, anak yang lahir dari pasangan Puang Digandang Tomakaka Napo dengan I We Apas yang saat itu menjabat sebagai Tobarani (Panglima perang) kerajaan Gowa pada masa pemerintahan raja Gowa IX Daeng Matanre Tu Mappariqsiq Kallonna. We Apas sendiri adalah saudara dari I Rerasi yang diperistri oleh Raja Gowa  VII Tu Mammiinanga Ri Pallakenna, dan melahirkan raja Gowa VIII Pakere Tau Tu Nijallo Ri Pasukki dan raja Gowa IX I Manguntungi Daeng Matanre Tu Mappariqsiq Kallonna. Dengan demikian I Manyambungi dan Daeng Matanre bersepupu satu kali.

Tulisan ini sama sekali tidak bermaksud untuk mengkaji sejarah dengan metode belah bambu dimana yang satu diangkat sedang yang lain dipijak, namun akan mencoba untuk mengangkat sejarah agar tersaji secara berimbang. Untuk itu marilah kita simak sejenak awal berdirinya kerajaan Passokkorang.

Awal Sejarah Passokkorang

Hingga saat ini belum diketahui pasti tentang sejarah awal penamaan Passokkorang, namun ada sekelumit cerita tentang ini yang kami ceritakan berikut.
Ketika zaman prasejarah masih menyelimuti daratan pulau Sulawesi, atau bisa dikatakan era pra Tomanurung. Masa dimana orang belum mengerti apa itu agama. Di sekitar aliran sungai Mapilli (saat itu belum dinamai sungai Mapilli) terdapat beberapa komunitas manusia penghuni awal. Komunitas-komunitas ini sangat menyukai perang, dan mereka seringkali saling menyerang antara komunitas yang satu dengan komunitas yang lain. Namun dimasa itu belumlah dikenal senjata perang, sehingga mereka berperang hanya dengan kayu dan paling banyak dengan saling menggigit lawannya. Ada kemungkinan kondisi inilah yang disebut dalam kitab epos I Lagaligo dengan kondisi “sianre bale”, dimana kondisi ini digambarkan penuh dengan kekacauan. Dari kebiasaan perang dengan cara saling menggigit inilah muncul nama PASSIKOKKOANG yang kemudian secara perlahan berubah penyebutannya menjadi PASSIKOKKORANG dan akhirnya menjadi PASSOKKORANG. Masyarakat komunitas ini sangatlah pemberani, memiliki kekebalan dan juga pandai menundukkan mahluk halus.

Setelah beberapa generasi kemudian, masuklah era Tomanurung. Tatanan peradaban pun menjadi lebih baik dan kebiasaan perang dengan saling menggigit dihentikan, namun demikian wilayah yang dulunya sering menjadi tempat bermukim komunitas ini tetap dikenal dengan nama Passokkorang atau Buttu Passokkorang saat ini.

Setelah beberapa generasi kemudian, kisah dan sejarah Passokkorang hilang hingga kemudian muncul kembali setelah terbentuknya Passokkorang menjadi sebuah kerajaan. Tidak diketahui tentang siapa pendiri kerajaan Passokorang, namun dari berbagai cerita tutur dan pengamatan lapangan dapat diambil beberapa kesimpulan. Passokkorang adalah sebuah kerajaan berdaulat dan menjalin persahabatan dengan kerajaan - kerajaan tetangga, bahkan salah satu raja Passokkorang yang bernama I La Bassi Kalling mempunyai seorang istri yang merupakan putri dari kerajaan Batu Lappa (masuk dalam wilayah kabupaten Pinrang, Sulawesi Selatan sekarang).

Kerajaan Passokkorang diperkirakan berdiri pada sekitar tengah tahun 1400an M. dan runtuh pada awal 1500an yang bisa dilihat persamaan time linenya dengan beberapa raja kerajaan tetangga semisal Raja Bone V La Tenri Sukki Mappajung E (1516 – 1543) atau, Arung Matowa Wajo IV La Palewo to Palippu (1491 – 1521)

Dalam keterangan lontar tidak ditemukan tentang raja-raja Passokkorang lain selain I Takia Bassi yang kemudian melahirkan I Labassi Kalling. Ada dugaan jika raja ini (baca: I Takia Bassi) merupakan bangsawan dari Bone yang eksodus pasca pemberontakan La Dati Arung Katumpi dimasa pemerintahan Arumpone I Benri Gau Daeng Marowa Arung Matajang (1470 – 1489).

Hal yang mendasari dugaan jika rumpun ini adalah berasal dari Bugis diantaranya:
1.       Penggunaan awalan nama “La” yang lazimnya digunakan oleh etnis Bugis, berbeda dengan etnis Mandar atau Makassar yang menggunakan awalan nama “I” seperti misalnya I Kaco atau I Manyambungi.
2.       Penggunaan nama La Bassi Kalling yang kemungkinan hanya sebuah julukan adalah tidak dikenalinya kata “kalling” dalam kosa kata mandar. Sementara pada etnis bugis sendiri istilah ini sangatlah akrab adanya, sebut saja ikan lele yang selain disebut bale ceppii kadang pula disebut dengan bale kelling atau ikan hitam. Yah, kalling/kelling dalam bahasa Bugis memang berarti hitam. Etnis makassar pun sebenarnya menggunakan kata “kalling” seperti kalimat “rappo kalling” yang sekarang menjadi nama wilayah, namun demikian jika kita mencoba menganalisa sejarah selanjutnya maka kemungkinan bahwa I Takia Bassi berasal dari Makassar mungkin agak meragukan.
3.   
    Dijelaskan dalam berbagai sumber bahwa I Manyambungi sebelum menjabat sebagai Maraddia pertama kerajaan Balanipa adalah salah seorang Tu Barani atau panglima perang kerajaan Gowa yang kemudian dipanggil dan dijemput pulang ke Mandar oleh karena adanya kekacauan yang disebabkan oleh kerajaan Passokkorang. Jika seumpama I Takia Bassi berasal dari Makassar, maka sesungguhnya cukup mudah bagi penguasa kerajaan Gowa untuk menghimbau penguasa Passokkorang dalam hal ini para To Makaka dari Appeq Banua Kayyang cukup melaporkan saja kepada Raja Gowa untuk memperingatkan raja Passokkorang yang masih serumpun dengan beliau dan malah menjemput I Manyambungi. Bahkan raja Gowa ketika mengetahui hal itu malah mempersilahkan I Manyambungi kembali untuk membereskan para pengacau, sesuatu yang sulit diterima jika hal itu dibiarkan oleh raja Gowa jika seandainya yang melakukan itu adalah orang dari etnis Makassar (Makassar melawan sesama Makassar).

4.       Hal yang selanjutnya adalah mudahnya pembauran dengan orang-orang Bone yang datang kemudian dan membentuk perkampungan yang dinamakan Campalagian (Kecamatan Campalagian sekarang).
5.       Hal lain adalah dalam usaha penyerangan passokkorang tercatat dua kali kerajaan Gowa memberi bantuan pendanaan kepada kerajaan Balanipa, hal yang lagi-lagi bertolak belakang dengan rasio jika Gowa tidak memiliki “misi” tertentu.

Dari kelima point penjelasan di atas, penulis hanya mencoba untuk kembali membuka wawasan berfikir kita tentang kesejarahan atau masa lalu yang terjadi di tanah Mandar. Sementara untuk hasil selanjutnya kami serahkan kepada pembaca untuk menggali dan mengkaji lebih lanjut, utamanya kepada generasi muda yang haus akan ilmu sejarah lokal dan masih bergelut dalam pencarian cultural identity-nya

Sumber-sumber:
1.       Lontaraq Pattaudioloang di Mandar 1 (M.T. Azis Syah)
2.       Wawancara dengan salah satu tokoh masyarakat Suruang bulan Mei tahun 2014.
3.       Lontaraq Sukku Na Wajo.
4.       Warisan Arung Palakka - Sejarah Sulawesi Selatan Abad XVII.

MEMAKNAI BUDAYA SECARA BIJAK

Beberapa tahun belakangan ini, seiring dengan semakin gencar masuknya budaya luar yang masuk ke dalam negeri kita. Dimana akibat yang sangat dirasakan baik secara langsung maupun tidak langsung adalah penurunan nilai moral dan etika kesusilaan yang dilakukan berbagai kalangan. Sejak dari rakyat biasa hingga pejabat, dari anak usia sekolah hingga manula yang sudah bau tanah kadang masih saja terlibat dengan perbuatan tak beradab.

Entah oleh desakan para budayawan atau karena kesadaran yang lahir dari jiwa para pemangku jabatan pemerintahan, maka penggiatan dan pelestarian budaya seolah menjadi sebuah euforia yang dalam beberapa pelaksanaannya kemudian justru terlepas dari pakem yang seharusnya. Sehingga budaya tradisional yang seharusnya menjadi sumber kearifan lokal justru bisa menjadi hal yang pelaksanaannya dibenci karena dianggap sebuah penindasan.

Sebut saja pemecahan rekor MURI untuk pembuatan kain sutera terpanjang beberapa waktu lalu yang dianggap oleh beberapa teman sebagai kegiatan yang tidak berakar dari kenyataan nyata dilapangan, dimana kita membanggakan daerah kita sebagai penghasil kain sutera terbaik padahal dimasyarakat, penenun malah lebih banyak menggunakan sutera imitasi karena memproduksi kain tenun sutera asli terasa begitu berat dan pemasarannya pun terbatas karena harga yang begitu tinggi.

Lalu masih tentang pemecahan rekor MURI untuk kategori kuda menari atau saeyyang pattuqduq terbanyak yang memang tidak sesuai aturan atau pakemnya dimana seharusnya pessawe adalah mereka yang sudah khatam Al-Qur’an.
Selain itu disela-sela pelaksanaan parade, nampak pula salah satu rombongan yang membawa perlengkapan balasuji yang tidak sesuai pakemnya. Sehingga hanya karena terbuat dari bilah bambu yang disulam segi empat saja yang membuat orang-orang tau kalau itu namanya balasuji. Sementara dari segi nilai, sungguh sangat hambar karena tidak menyimbolkan apapun.

Yang terakhir, ketika hari ini (Minggu,29 Desember 2013) salah seorang teman memberi informasi dan sebuah foto tentang pegawai SPBU Polewali yang menggunakan pakaian adat mandar dalam bertugas melayani pelanggan. Dalam fikiran saya bahwa karyawan SPBU ini tentu menggunakan pakaian adat karena perintah atasan dan bukan kemauan sendiri, apalagi ini masih dalam rangka memeriahkan ulang tahun Polewali Mandar. Bisa dibayangkan bagaimana repot dan gerahnya para karyawan yang menggunakan beskap (jas tutup) berdiri melayani pelanggan selama berjam-jam belum lagi jika panas matahari ikut menyengat. Tentu tidak kalah susahnya bagi karyawati yang diharuskan menggunakan sanggul, gallang balleq dan aksesories pakaian adat lainya. Apakah pemilik SPBU tersebut tidak berfikir manusiawi sehingga rela memperlakukan karyawan dan karyawatinya seperti itu demi sebuah kalimat “mangakuaq Polman” (saya akui Polman).

Budaya seharusnya dinilai secara bijak sebagaimana budaya itu sendiri selalu mengajarkan tentang kebijakan dan kebajikan meski hanya lewat sebuah simbol. Agar generasi muda nantinya betul-betul bisa menyatu dengan budayanya dan melaksanakannya dengan penuh keikhlasan. Bukan hanya karena perintah atasan atau adanya iming-iming tip tambahan. Sebab tentu yang kita inginkan adalah bagaimana agar budaya itu menjadi pembendung adanya pengaruh negatif yang dibawa oleh budaya luar yang tidak sesuai dengan adat ketimuran yang mengedepankan sopan santun atau dalam bahasa lokal dinyatakan sebagai sikap sipakatau, siparaya.

Pemerintah Polewali Mandar yang diakui sebagai kabupaten yang begitu sering melaksanakan event-event budaya seharusnya bisa mengajak para budayawan untuk duduk bersama dalam setiap event yang akan diadakan. Agar para budayawan bisa memberi masukan bagaimana seharusnya memperlakukan budaya.

Betapa senang dan semangatnya anak-anak mandar untuk pergi mengaji, jika menunggangi kuda pattuqduq diberikan secara istimewa hanya bagi mereka yang telah khatam Qur’an.
Betapa mesranya hubungan sesama masyarakat  dan hubungan rakyat dengan pemerintah jika balasuji bisa menghadirkan simbol keselarasan pemerintahan yang mana kemudian disertai dengan pemahaman oleh segenap penghuni negeri.

Meskipun pada dasarnya hal itu juga tidak bisa menjamin, namun setidaknya ada usaha untuk memperbaiki kualitas masyarakat yang dalam realitanya semakin hari semakin terpuruk karena mulai kehilangan identitas budayanya. Jika saja pelestarian budaya berangkat dari hati yang ikhlas, lalu dijalankan dengan ikhlas maka insya allah hasil yang didapatpun akan melebihi dari pada apa yang diharapkan.


Semoga dengan hadirnya tulisan ini, kita bisa sama-sama belajar untuk terus menggali pesan-pesan kebijakan dan kebajikan yang diwariskan leluhur kita. Dan tidak sekedar melaksanakannya secara serampangan hanya untuk sebuah gelar yang bernama rekor yang justru kemudian malah menenggelamkan arti dan nilai kearifan warisan leluhur.

LAMBANAN DAN SEJUTA KEUNIKANNYA

Mungkin Lambanan lah desa yang memiliki jumlah penduduk paling sedikit dari sejumlah desa yang ada diwilayah kecamatan Balanipa, kabupaten Polewali Mandar. Jumlah penduduk di wilayah itu hanya sekitar kurang lebih 136 kepala keluarga dengan jumlah rumah 117 buah. Namun siapa yang menyangka bahwa ternyata Lambanan menjadi salah satu daerah yang istimewa bagi para arkeolog dan penggemar sejarah kebudayaan sebab Lambanan adalah salah satu perkampungan  tua yang ada di Mandar, dan menjadi salah satu tempat penyebaran awal agama islam di bumi Mandar. Dan ternyata pula bahwa daerah yang kehidupan sehari-hari warganya nampak bersahaja ini menyimpan berbagai tempat yang unik lengkap dengan mitosnya. Beberapa keunikannya akan saya buka dalam beberapa bagian tulisan sesuai keterangan dari bapak kepala desa Lambanan yang telah menjabat selama dua periode sebagai narasumber yang sempat kami wawancarai. Dan berikut adalah bagian pertama.

1.       Makam To Salamaq   
Berawal dari kedatangan seorang penyebar agama islam di tanah ini pada kurun waktu 1600 masehi yang dikemudian hari digelari To Salama Annangguru Malolo yang kemudian mengajarkan agama islam kepada masyarakat setempat waktu itu yang belum bernama Lambanan. Dipercaya bahwa sebelum beliau datang ke Lambanan, beliau terlebih dahulu berada di kerajaan Gowa-Tallo. Dugaan saya, mungkin ada keterkaitan dengan Dato Ri Bandang. Pertama kali beliau mengajak kepada masyarakat dimana beliau pertama kali menginjakkan kaki di tanah Mandar, namun sayang masyarakat disana saat itu masih enggan menerima kehadiran agama Islam dan meninggalkan agama kepercayaan leluhurnya. Hingga kemudian tempat itu diberi nama Tamangalle yang berasala dari penyesuaian kata bahasa Makassar “teai ero ngalle”atau “teai ngalle” yang artinya tidak mau menerima. Suatu tempat yang kini berada dalam wilayah kecamatan Tinambung, kabupaten Polewali Mandar. Oleh sebab itu Tosalama Annangguru Malolo kemudian meninggalkan daerah pantai Tamangalle kearah pegunungan. Beliau sempat heran ketika pertama kali mengetahui bahwa sebagian besar kaum lelaki masyarakat Lambanan (saat itu belum bernama Lambanan) waktu itu ternyata telah melakukan sunat (khitan) yang notabene berasal dari ajaran Nabi Ibrahim AS. Sehingga disimpulkan bahwa ajaran agama tauhid telah menyentuh wilayah Mandar jauh sebelum abad ke 17, meskipun mungkin belum sesempurna sebagaimana risalah Nabi Muhammad SAW.

Kadatangan beliau disambut ramah dan banyak masyarkat yang kemudian berbondong-bondong untuk menerima ajaran beliau, dan beliau juga mendoakan kampung tersebut bahwa “tidak ada orang di daerah itu yang akan mati berdarah / berkelahi, kecuali orang dari luar yang datang dan membuat onar”. Dan do’a tersebut diijabah oleh Allah dengan tidak adanya perkelahian sesama warga, meskipun apa yang menjadi persoalan sudah betul-betul mencapai klimaks hingga kedua belah fihak sudah saling menghunuskan senjata namun selalu saja ada hal yang membuat emosi mereka menjadi reda. Pun demikian halnya ketika tanah Mandar memasuki era revolusi penjajahan atau pemberontakan-pemberontakan.

Setelah beliau wafat, beliau kemudian dimakamkan disebuah kompleks pemakaman tua. terlihat dari banyaknya makam yang masih menggunakan batu-batu sungai dan kasar yang diletakkan berdiri (mirip menhir namun dalam ukuran kecil) yang jika melihat arah makam memang diperuntukkan oleh orang Islam.

Sampai saat ini diyakini pula oleh masyarakat Lambanan bahwa kehidupan mereka saat ini juga merupakan berkah Allah dari do’a To Salamaq Annangguru Malolo. Mengingat sumber daya alam pertanian mereka sangat jauh jika dibandingkan dengan daerah lain, namun secara keseluruhan masyarakat disana tergolong cukup dalam hal sandang, pangan dan papan.

2.       Mesjid Lambanan.
Setelah beberapa lama mengajarkan agama Islam, dan masyarakat pun semakin antusias menerima pengajaran dari To Salamaq Annangguru Malolo. Dibuatlah kemudian sebuah mesjid yang sekiranya akan dijadikan sebagai basis dakwah agama Islam. Mesjid yang dibangun oleh To Salamaq Annangguru Malolo bersama masyarakat inilah yang kemudian diyakini oleh para arkeolog sebagai mesjid pertama di tanah Mandar.

 Pada masa lalu ketika masyarakat kerajaan Balanipa sudah memeluk Islam secara keseluruhan, maka dipandang perlu untuk membangun sebuah mesjid kerajaan. Dari kesepakatan dewan adat dan masyarakat Balanipa, maka dibangunlah sebuah mesjid di daerah Tangnga-tangnga yang pada waktu itu menjadi ibukota kerajaan. Untuk keperluan itu maka tiang sokoguru (posiq arriang dalam bahasa Mandar) mesjid lama dibawa ke Tangnga-tangnga. Sehingga jika ada yang merasa simpang siur dengan berita mesjid pertama di Mandar, maka jawabannya adalah mesjid pertama di Mandar adalah yang ada di Lambanan sedangkan yang ada di Tangnga-Tangnga juga adalah mesjid pertama namun sebagai mesjid pertama kerajaan Balanipa. Jadi harus dibedakan mana mesjid pertama dan mana mesjid kerajaan.

Posisi Lambanan sendiri dalam struktur kerajaan Balanipa bertindak sebagai Kadhi (penasehat/hakim agama Islam). Artinya setiap persoalan yang terjadi di dalam kerajaan Balanipa yang menyangkut ihwal agama selalu menggunakan pemimpin masyarakat Lambanan sebagai penasehat. Pemerintah dan masyarakat kerajaan Balanipa waktu itu  sangat menghormati pemimpin agama Islam bahkan hampir mensejajarkannya dengan jabatan raja sekalipun. Oleh karenanya, tidak dibenarkan jika orang Lambanan diperbudak oleh bangsawan kerajaan. Demikian pula jika diadakan pertemuan kerajaan, maka posisi pemimpin wilayah Lambanan selalu berdampingan dengan posisi Maradia (baca:raja). Hal ini berangkat dari pemahaman bahwa sesungguhnya kedudukan manusia dimata tuhan adalah sama.

Keberadaan mesjid lama (baca: tua) ini masih dapat dilihat hingga sekarang, namun sudah tidak terpakai sebab telah pula dibangun mesjid yang baru. Pada awalnya masyarakat tidak lagi menggunakan mesjid lama dikarenakan kerusakan yang terjadi akibat gempa bumi sekitar tahun 60an yang membuat struktur bangunan dianggap berbahaya, apalagi mesjid ini berdiri di bantaran sungai yang selalu tergerus. Meskipun telah dilakukan renovasi pertama pada masa S. Mengga menjabat sebagai Bupati Polewali Mamasa, nama Polewali Mandar sebelum pemekaran.
Setelah pendirian mesjid baru ini, sempat terjadi kesalah fahaman di antara masyarakat Lambanan yang menyebabkan sekitar 70 kepala keluarga atau 2/3 masyarakatnya waktu itu memilih  untuk pergi dan berdomisili di wilayah yang sekarang dikenal dengan nama Galung Tulu atau Kappung Tulu dan sebagian lagi berpindah ke desa Galung Lenggoq. Perseteruan ini berlanjut kemudian dengan rebutan bedug asli mesjid tua antara mereka yang masih menetap di Lambanan dan mereka yang telah pndah ke Galung Tulu. Perseteruan dalam berebut Bedug asli Masjid Lambanan di pelopori oleh 2 tokoh yg sangat berpengaruh saat itu. Abdullah (Kanneq Toko) yg mempertahankan Bedug tersebut tetap di Lambanan, sedangkan Bani (Kanne Sokkoq Bone) yg menginginkan agar Bedug asli dibawa serta ke Kappung Tulu. Sumber: -Hj.Malaeya (appona Kanneq Paraqbaya) -Abd.Manan (appona Kanneq Paraqbaya) -Hj.Bahara (appona Kanneq Sokkoq Bone) (keterangan dari Awang Mandar ). Dan lagi-lagi, apa yang dinubuatkan terjadi. Meski kedua belah fihak memanas namun tidak terjadi pertumpahan darah. Namun saat ini, perseteruan dimasa lalu itu sudah tidak terjadi lagi. Hubungan antara mereka yang menetap di Lambanan dan mereka yang menetap di Galung Tulu sudah terjalin kembali dengan harmonis.  

Menurut informasi yang kami dapatkan dari kepala desa Lambanan, bahwa saat ini sedang diusahakan untuk melakukan renovasi bangunan mesjid dengan tetap mempertahankan arsitektur lamanya.

3.       Artefak dan ritual peninggalan tradisi.
Sebagai salah satu kampung tua, Lambanan mempunyai beberapa artefak bersejarah yang dimiliki oleh warga setempat. Beberapa yang sempat kami terangkan menurut penjelasan dari kepala desa Lambanan,  diantaranya adalah kitab tulisan tangan dari To Salamaq Annangguru Malolo. Kitab ini masih menggunakan bahan kertas dari India dan ditulis dengan tinta India pula. Tulisan dalam kitab ini menggunakan huruf arab serang berbahasa bugis serta aksara lontara. Meski secara tersamar, namun dari pennjelasan tersebut dapat kami ambil kesimpulan bahwa kitab tersebut berisi pelajaran-pelajaran tasawuf atau tarekat. Ajaran – ajaran inilah yang diturunkan oleh To Salamaq Annangguru Malolo kepada murid-muridnya.

Yang berikutnya adalah teks khutbah asli yang ditulis oleh To Salamaq Annangguru Malolo. Berbeda dari kitab yang dibahas di atas, media tulis teks khutbah ini menggunakan kertas yang masih berbahan bambu dan berbahasa arab. Sampai saat ini, teks khutbah ini masih sering dikeluarkan untuk dibacakan pada hari raya Iedul Adha termasuk hari raya tahun ini 1435 H. atau 2014 M.
Ada mitos yang lahir dari kitab ini yaitu siapa saja mengambil serpihan kertas dan menelannya maka dipercaya bahwa orang tersebut akan memperoleh kekebalan atau kulitnya tidak akan mempan terhadap senjata tajam.  Karena mitos yang diyakini sebagian masyarakat inilah sehingga perangkat mesjid begitu waspada dan berhati-hati saat mngeluarkan teks khutbah ini untuk dibacakan.
Di Lambanan terdapat pula peninggalan dari Pappuangang Luyo yaitu sebilah keris berluk 7 dan luk 13 yang disimpan oleh salah satu warga. Sayang karena keterbatasan waktu, artefak yang kami sebut di atas tidak dapat kami lihat secara langsung saat kunjungan tersebut.

Selain peninggalan berupa artefak sebagaimana telah kami sebutkan sebelumnya, di Lambanan juga masih terdapat tradisi ritual agama yang unik dan tidak terdapat di daerah lain. Salah satunya adalah ritual baca do’a Neneta Adam yang dilaksanakan setiap malam 10 Muharram. Tidak dijelaskan oleh narasumber sejak kapan ritual ini mulai diadakan, namun beliau menjelaskan bahwa prosesi ini menyimpan suasana mistis hingga pernah mengejutkan istri salah satu bupati Polman yang menyempatkan untuk menyaksikan prosesi ritual baca do’a Nene ta Adam ini.

Ritual ini dijalankan oleh tujuh orang pemuka agama Lambanan sebagai pemeran kunci acara, menggunakan tujuh macam kue tradisional yang dialasi dengan daun pisang pilihan. Daun pisang yang terpilih haruslah merupakan daun pisang yang pelepahnya terpanjang di Lambanan dan utuh alias tidak boleh cacat atau sobek. Ada berbagai makna penyimbolan dari segala property yang digunakan. Mulai dari penggunaan jumlah tujuh yang dimaknai sebagai lingkup ruang kosmos, yang terdiri dari tujuh lapis langit dan tujuh lapis tanah, pada saat melaksanakan thawaf di Ka'bah sebanyak tujuh putaran, bagain tubuh yang menandai sujud sebanyak tujuh serta banyak lagi yang tidak dapat kami sebutkan. Pemilihan waktu malam tanggal 10 Muharram pun dipilih karena diyakini bahwa pada tanggal 10 Muharram terjadi banyak peristiwa-peristiwa luar biasa yang dikenal oleh ummat Islam. Lalu mengapa menggunakan nama “Nene ta Adam” yang jika diterjemahkan kebahasa Indonesia berarti Nenek kita Adam, sementara dalam bahasa Mandar sendiri, nenek disebut dengan kanneq?. Saya hanya bisa menarik menyimpulkan, bahwa dari sekian ikon simbolik yang digunakan oleh masyarakat Selebes (Sulawesi) baik yang sempat kami sebutkan di sini atau tidak. Terdapat benang merah bahwa sesungguhnya masyarakat Selebes berasal dari satu rumpun yang satu dan kemudian terpecah menjadi suku-suku seperti yang kita temui sekarang. Bahwa Makassar, Bugis, Mandar dan Toraja sesungguhnya adalah “bambu” yang pecah. 

Ritual yang kedua adalah sambayang annang (shalat enam). Ritual ini biasanya dilakukan pada malam hari setelah lebaran dan menggunakan enam orang sebagai pemeran kunci yang jika tidak hadir salah satunya maka acara tidak dapat dilaksanakan. Sebagaimana ritual baca do’a nene ta Adam, sambayang annang pun memiliki kandungan makna penyimbolan yang amat dalam. Namun karena ini berkaitan dengan keyakinan dan kebatinan, maka kami tidak dapat menyebutkannya di sini.
4.      
Negeri seribu cerita.
Sebagai negeri tua, Lambanan tentu tidak lepas dari cerita dan tempat-tempat berbau mistik. Selain dari yang telah disebutkan sebelumnya, Lambanan masih memiliki beberapa tempat dengan ceritanya masing-masing. Lambusang adalah tempat dimana orang-orang yang baru akan memasuki desa Lambanan harus meletakkan batu kecil. Peletakan batu kecil tersebut dianggap sebagai permohonan izin untuk memasuki perkampungan desa Lambanan, kepada sosok “penjaga” perbatasan. Menurut cerita, sungai yang berada di dekat rumah-rumahan di mana batu tersebut biasanya diletakkan, dihuni oleh sosok wanita cantik yang dulunya berprofesi sebagai penari di kerajaan Balanipa. Hingga suatu saat, entah bagaimana ceritanya sehingga sang penari tersebut terjatuh ke sungai hingga hanyut dan jenazahnya tidak pernah ditemukan hingga hari ini. Nah konon, arwah wanita penari ini sering menampakkan diri, ia akan mengganggu pelintas yang tidak meletakkan batu. Namun nampaknya kisah ini sudah tidak berlaku saat ini, sebab ketika kami memasuki perkampungan desa Lambanan tak satupun dari kami yang meletakkan batu kecil. Tapi alhamdulillah, tak terjadi apa-apa terhadap kami. Wallahu a’lam bissawab.

Sumur Pandaq adalah sumur tua yang juga ada di Lambanan, karena di tempat itu terdapat tiga buah sumur yang saling berdekatan, sehingga sumur tersebut juga kadang disebut dengan passauan tallu (tiga sumur). Menurut keyakinan beberapa orang, bahwa mandi atau mencuci muka di sumur ini bisa memudahkan dalam urusan jodoh, dan konon sudah terbukti pada beberapa orang. Sehingga oleh sebagian orang, sumur ini juga dinamai dengan sumur jodoh. Dari ketiga nama itu, mungkin passauang tallu (sumur tiga) dan sumur jodoh adalah nama yang sudah diketahui dasar penamaannya. 

Berikut ini adalah cerita kenapa sumur ini disebut juga passauang Pandaq. Dahulu kala ketika musim kemarau melanda desa Lambanan, oleh rapat para sesepuh maka diputuskan untuk menggali sebuah sumur yang sekiranya akan dimanfaatkan sebagai sumur umum, dan ditentukan pulalah titik lokasi penggalian sumur tersebut. Beberapa kali alat gali ditancapkan, maka keluarlah sedikit mata air. Namun kemudian semakin dalam penduduk menggali, debit air bukannya bertambah tapi malah semakin berkurang dan akhirnya hilang sama sekali. Kemudian titik penggalian dipindahkan ke tempat yang tidak terlalu jauh, hanya beberapa meter dari titik gali sebelumnya. Namun kejadian serupa kembali terjadi, hingga titik gali kembali dipindahkan. Sayang, kejadian yang pertama pun kembali terulang hingga ketiga kalinya. Melihat kejadian ini, tampillah seorang penduduk yang mencoba untuk mengadakan kembali mata air yang hilang dari sumur yang telah digali tersebut. Ia pun pergi kesungai Ulu Mandaq yang ada jauh di pedalaman Majene sekarang. Ia mengambil air sungai dengan menggunakan selembar daun yang dibentuk kerucut mirip dengan corong untuk menampung air tersebut. Sekembalinya di Lambanan, ia pun menuju ke tempat sumur yang sudah digali namun tidak mengeluarkan air tadi dan melakukan ritual memanggil air dari Ulu mandaq dengan sarana air sungai yang sebelumnya ia ambil. Alhasil, ketiga galian tadi pun perlahan-lahan mengeluarkan mata air dengan debit yang cukup memenuhi kebutuhuan warga lambanan. Debit air di sumur inipun tidak pernah kering meski kemarau sedang panjang. Dan dari situlah orang tadi kemudian lebih dikenal dengan nama I Pandaq, dan ketiga galian sumur tadi diberi nama sumur Pandaq atau passauang pandaq. Wallahu a’lam bissawab.

Selain itu, di lambanan juga terdapat kompleks pemakaman yang salah satu makamnya diyakini sebagai makam I Lamber Susu yang merupakan keturunan dari Pongka Padang, leluhur sekaligus cikal bakal manusia di Mandar. Konon dinamai I Lamber Susu sebab beliau memiliki (maaf) payudara yang panjang, hingga jika ia akan menyusui anaknya maka payudaranya akan diselempangkan dipundak hingga (maaf) putingnya bisa diraih dan disusui oleh anaknya dari belakang. Wallahu a’lam bissawab.


Demikianlah kisah dari Lambanan yang kami peroleh dari perjalanan singkat yang kami lakukan beberapa waktu lalu. Semoga apa yang kami tuliskan bisa membuka wawasan kita tentang keunikan salah satu yang ada di Polewali Mandar. Serta mengajak kita untuk menggali kembali beberapa kearifan lokal dalam simbol yang dihadirkan dalam beberapa ritual religius maupun cerita – cerita yang mungkin berbau mitos. Dengan penuh kerendahan hati kami akui jika dalam tulisan-tulisan kami masih terdapat banyak kekurangan dan besar harapan kami jika sekiranya ada yang berkenan memberi masukan kepada kami mengenai tulisan ini. Sebelum dan sesudahnya kami ucapkan terima kasih.

FASTIVAL GauTIK 2015 dan APPEQ JANNANGANG

Perhelatan Festival GauTIK 2015 yang digelar di gedung GADIS Polewali Mandar telah usai beberapa hari yang lalu. Kegiatan yang diusung oleh relawan TIK (R-TIK) Sulawesi Barat ini terlaksana pada tanggal 1-5 September lalu dengan bermacam acara, di antaranya sosialisasi Desa.id, workshop pembuatan website, pameran TIK dan berbagai macam lomba. Yang menarik dalam acara yang pembukaannya dihadiri oleh Direktur Pemberdayaan Informatika Kementrian KOMINFO  ibu Septriana Tangkary, serta  bapak Wakil Bupati Polewali Mandar HM. Natsir Rahmat dan Asisten II Pemkab Pol-Man pak Darwin Badaruddin ini adalah sosialisasi perangkat-perangkat IT. Sebut saja Rapsberry yang salah satu pengembangnya adalah putra lokal Mandar. Mini computer yang hanya seukuran kartu KTP ini sungguh mengundang decak kagum. “Untuk sementara produk ini telah diuji cobakan di Malang dan Jogja, tapi tidak lama lagi produk ini akan kita pasarkan juga di sini (Sulawesi Barat/red)” terang Mihram, lelaki asal Campalagiang yang saat ini bertugas sebagai ketua R-TIK wilayah Papua dan pulang ke Mandar  demi acara festival GauTIK ini.

Dalam acara pembukaan festival GauTIK 2015 ini, ibu Direktur Pemberdayaan Informatika juga memberikan apresiasi yang luar biasa terhadap pembuatan aplikasi android Lontaraq Digital yang ditelurkan oleh komunitas Appeq Jannangang yang rupanya beliau ketahui melalui informasi dari pak Darwin Badaruddin. Dalam kesempatan yang sama beliau menyarankan agar aplikasi Lontaraq Digital diikutkan dalam even INAICTA, sebuah ajang lomba bergengsi internasional inovasi teknologi. Hanya sayang sebab sekali sebab pendaftaran INAICTA untuk tahun 2015 telah tertutup, beliau bahkan mencoba meminta pengecualian kepada fihak panitia namun sayang tak terpenuhi. 

Untuk kegiatan fastival ini, mewakili Appeq Jannangang, saya  diberikan kesempatan pada hari ketiga untuk mensosialisasikan aplikasi Lontaraq Digital bersama dengan mas Soepriyanto (Domain desa.id dari Jawa Tengah) serta Burhanuddi Hr. (Wartawan senior Sulawesi Barat).
Selain itu, Appeq Jannangang dalam hal ini tim Sakkaq Manarang-nya juga didaulat untuk mewakili R-TIK Majene dalam pameran IT yang diikuti oleh beberapa komunitas IT dan sekolah menengah yang punya jurusan berbasis IT.


Festival GauTIK 2015 telah berakhir setelah ditutup oleh DR. H. Anwar Sewang selaku pengurus R-TIK Sul-Bar, namun harapan untuk bersua dan terlibat kembali dalam ajang Festival GauTIK 2016 yang akan datang sangatlah dinantikan. Sebab dari kegiatan seperti ini kita berharap Appeq Jannangang bisa menjadi pelopor dalam pelestarian budaya lokal Mandar berbasis teknologi. Teknologi kian maju, dan budaya sebagai filter harus mampu mengiringi pergerakan teknologi.

BALA SUJI/LAWA SOJI/WALASOJI

Balasuji/lawasoji/walasoji, yah itulah beberapa sebutan atau nama dari anyaman bambu khas dari jazirah Sulawesi bagian Selatan dan Barat ini. Anyaman bambu yang teridiri dari dua atau tiga bilah bambu yang dianyam secara sejajar dan dibuat dengan berbagai bentuk sesuai peruntukannya, seperti misalnya sebagai wadah hantaran dari calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita yang diisi dengan berbagai macam buah, atau sebagai pembatas pelaminan antara mempelai dengan undangan, dan atau sebagai ornamen pada pintu gerbang dalam ritual adat perkawinan. Selain pada acara perkawinan adat, pada suku tertentu bala suji juga terkadang digunakan untuk meletakkan orang meninggal sebelum dibawa kepekuburan, kadang juga bala suji digunakan saat ritual kelahiran seorang bayi dimana bala suji di tempatkan dibawah kolom rumah yang sejajar dengan tempat sang ibu melahirkan.

Menurut namanya, lawa soji dalam bahasa bugis atau bala suji dalam bahasa mandar meski memiliki penyebutan yang berbeda namun mempunyai pengertian yang sama yaitu Lawa yang berarti pembatas dan suji yang berasal dari bahasa bugis kuno dan disebutkan di dalam Lontara I Lagaligo yang berarti agung atau suci. Sehingga secara umum bisa dikatakan bahwa lawa suji adalah sebuah pagar yang dibuat untuk memagari sesuatu yang sifatnya bersih, suci atau agung. Dalam membuat lawa suji/bala suji, bilah bilah bambu yang telah dipotong kemudian dianyam secara diagonal dengan jarak tertentu hingga akan terbentuk belah ketupat sehingga dikatakan bahwa bentuk lawa suji ini tidak bisa dilepaskan dari kepercayaan mikrocosmos masyarakat sulawesi selatan dan barat tentang sulapa eppa/sulapa appe yang memuat ajaran sosiokultural dan spritual.

Bentuk.
Balasuji dibuat dari bilah bambu yang tidak terlalu tipis dan dianyam secara diagonal dengan ukuran jarak tertentu sehingga akan meciptakan lubang simetris diantara anyamannya yang berbentuk segi empat atau belah ketupat. Menurut penuturan ayahanda penulis, bahwa dahulu di kerajaan Belawa (sebuah anak kerajaan Wajo) jumlah bilah bambu pada anyaman bala suji menunjukkan strata dan kasta dari yang punya hajatan. Untuk kalangan bangsawan menggunakan tiga bilah bambu yang dianyam sejajar dengan menempatkan bilah yang memiliki kulit yang diapit dengan bilah bambu yang kulitnya telah dibuang dikedua sisi bilah bambu berkulit tadi sehingga menampilkan warna khas krem, hijau,krem jika menggunakan bambu hijau atau krem, kuning, krem jika menggunakan bambu tua/bambu kuning. Ini menggambarkan tentang seorang raja yang memiliki penampilan lebih menarik, kuat, bersifat melindungi (kulit bambu lebih kuat  dan melindungi bagian dalam bambu) berada di tengah dan diapit oleh rakyat atau pengawalnya. Sementara untuk orang biasa menggunakan anyaman dua, dengan cara dua bilah bambu yang salah satunya berkulit dan yang satunya tidak di anyam sejajar sama dengan anyaman yang menggunakan tiga bilah bambu. Ini melambang bahwa siempunya acara bukan pemimpin dan tidak punya pengawal, sementara untuk kalangan budak tidak menggunakan balasuji.

Makna.
Selain makna dari jumlah anyaman bilah bambu, lawa suji juga memiliki banyak versi tentang makna dari bentuk anyamannya yang membentuk belah ketupat, antara lain
diantaranya:

1. Zat pembentuk tubuh
- API
- ANGIN
- AIR
- TANAH

2. Keberadaan manusia dalam alam dunia
- Pemahaman manusia terhadap penciptaan dirinya.
- Pemahaman hubungan manusia dengan tuhannya.
- Pemahaman hubungan manusia dengan alam lingkungannya.
- Pemahaman manusia terhadap pemimpinnya.

3. Shalat/sambayang
- BERDIRI
- RUKUK
- SUJUD
- IqTIDAL

4. Pembentuk darah sesuai dengan fungsinya.
- Darah merah untuk menggerakkan tubuh.
- Darah hitam untuk menguatkan tubuh.
- Darah putih untuk pertahanan tubuh.
- Darah kuning untuk memperbaiki/menyembuhkan tubuh pada saat luka.

5. Siklus kehidupan manusia.
- Lahir
- Syukuran/ritual/ibadah harian.
- Perkawinan
- Kematian

Dan barangkali masih ada versi lain, tergantung dari masing-masing orang yang menafsirkannya.
Dalam pada ini terkadang muncul sebuah pertanyaan, kenapa harus menggunakan bambu dan buka rotan atau yang lain?.

Ada beberapa philosofi tersendiri hingga kenapa bahan pembuatan balasuji ini jatuh pada bambu antara lain:

1.            Bambu adalah tumbuhan serba guna yang banyak digunakan oleh masyarakat umum, ini bermakna bahwa semoga orang-orang yang memahami balasuji bisa menjadi orang yang berguna bagi masyarakat umum dilingkungannya.

2.            Bambu adalah tumbuhan berbatang bulat, yang mana kulit bagian luar batang bambu lebih keras daripada bagian dalamnya. Ini mengandung makna bahwa masing-masing dari keempat sisi pada balasuji harus saling menjaga dan bersatu dalam mufakat pada setiap kegiatan yang akan dilakukan.

3.            Batang bambu memiliki sifat liat dan lentur, ini mengandung makna agar kita seharusnya menjadi orang yang kuat, ulet, dan gigih namun tetap dinamis dalam menghadapi dinamika hidup.

4.            Tunas bambu muda dapat menjadi bahan makanan, ini bermakna bahwa  manusia sulawesi 
pada masa kecilnya bisa membawa kebahagiaan dan keceriaan bagi keluarga dan lingkungannya namun sekaligus dapat menjadi pelindung setelah ia beranjak dewasa.


Jika saja philosofi balasuji ini mampu kita terapkan maka mungkin saja moral, etika dan sopan santun manusia jaman sekarang tidak perlu dikhwatirkan menjadi manusia biadab yang miskin moral.

SEJARAH AWAL KEBANGSAWANAN DI TANAH MANDAR


Iyanae seuwa passaleng. Pannassai abbatirEnna Arung MangkauE riolo ri Balanipa. Uru diang na tau di Mandar, Ulu Saqdang mo naengei pottana. Iyamo naengei tappa To Dipanurung Di Langi disanga To Banua Pong. Iamo peanangani I Lando Beluwa. Iyamo tappa di Gowa. I Laso Keppang. Iyamo tappa di Luwu. I Lando Guttu. Iyamo tappa di Ulu Saqdang. Usuq Sabambang monro di Karonangang. I Paqdorang. Iyamo tappa di Benuang. Mebaine daiq. Napebaine Aratiwi. Ana maraqdiamo I Tasudidi. I Tasudidi mo peanani I Sibanang. Iyamo tappa di Mamasa. Iyamo tama di Masupu anna disanga I Bongka Padang. Iyamo pebainei disanga I Sanrobone. Diong di buttu bulo. Tau pole dimatanna Soreang lopi. Iyamo napeana disanga I Belo Rante. Iyamo peanani To Miteqeng Bassi. Iyamo peanani Daeng Lumale. Disanga Daeng Lumale. Iyamo mappadiang ana sanging sammesa. Uru-urunna disanga Daeng Tumana. Diong mi tia dipeurangang. Dadduanna isanga I Lamber Susu. Iyamo tappa di Mekka (tta ?). iyamo disanga Daeng Mangana. Iyamo tappa di Tabulahang. Tatallunna disanga Apena I Samba Lima. Iyamo di Tabang. Lima na Lao Mesa. Iyamo tappa di Ulu Salu. Nene na To Bala. Annanna Tau da(da?)ri. Iyamo tappa di Mamuju. Pitunna disanga Daeng Palulung. Iyamo tappa di Sendana. Aruana To Dipikusi iyamo tappa di Malaqbo. Ammesana. Anna tau Lambanang. Iyamo tappa di Mabunene. Nenena to Sabura. Nenena to Batu. Sangisana To Dipangimbulu. Iyamo tappa di Botteng. Sanging sammesa na. To Pali. Iya dipeanani I Tabittoeng. I Tabittoeng. Iyamo peanani I Taurra-urra. I Taurra-urra mebaine doqmai di Lemo. Diangmi I We Apas. I We Apas mo dipebaine Puang Di Gandang anna diang mo To Dilaling. Daiq mi di Maqasar mappadiang mi anaq mesa tommuane, tattallu tobaine. Mesa memmuane naung di Todang-todang. Mesa memmuane tama di Alu. Iyamo didimanna to kalimbua. Mesa memmuane naung di Banggae iyamo didimanna to Tande. Itommuane, iyamo disanga To Mepayung. Iyamo peanani Daeng ta tobaine. Polena dai di Maqasar I Todilaling, anna dipebaine mi indo na To Di Jalloq. Diang mi To Di Jalloq. Iyamo peanani Daeng Ta Tommuane. Iyamo siala boyang pissangna Daeng ta Tommuane, Daeng ta Tobaine. Dipeanammi To Mate Magarring. To Di pessung (?). To Di Boseang. To Matindo di Burio. To Matindo di Sattoko.
...........................

     Apa luare tommuane na indo na To Di Jallo iyamo ipenanni I Pasu Tau. Malotong lilana sassigiq. Rindu ular balu toi. Iyamo disanga Puang di Pojosang. Melluluareq toi I Puang Di Rano. I Puang Di Pangale. I Puang di Mettajirang. Milluluareq toi Puang di Gandang. Iyamo menjari puang ana appona. I Puang di Tammajarra. Iyamo menjari tau pia. I Puang di Rano iyamo menjari pappuanganna to Napo. I puang di Pangale iyamo menjari pappuanganna to Samasundu. I Puang di Ceba i tia, to pole-pole di tia. To Biru ditia. Mettambeng di Samasundu. I Puang di Pojosang iyamo disorong sau di bonde mambawa tau sallessorang dipajari sakkaq manarang. Na poparemba I Taqbilowe. Iyamo maissang laqbi Banua Kaiyyang Napo, Samasundu. Napematami napetalinga mi pappuangang di Tamangalle. Meboyangpissang To di Jallo I Puang di Poyosang. Siolami Tomeppayung anna rumpa Passokkkorang. Anna nanamimaraqdia matoami To di Jallo. Iyamo mappauru-uruang maraqdia matoa. To di Jallo. Anna siola mo mappakaiyang litaq di Balanipa. Iya tomo mappepeolo mega (?) Lego mega (?) Beluwa anna diangna mi Lego na po indopalli di buttu. Beluwa na po indopalli di ratte. Anna iya Lego, Tunuang Tanggarriq na i Pitu Ulunna Salu ........ Tammat.