Mungkin Lambanan lah desa yang
memiliki jumlah penduduk paling sedikit dari sejumlah desa yang ada diwilayah
kecamatan Balanipa, kabupaten Polewali Mandar. Jumlah penduduk di wilayah itu
hanya sekitar kurang lebih 136 kepala keluarga dengan jumlah rumah 117 buah. Namun
siapa yang menyangka bahwa ternyata Lambanan menjadi salah satu daerah yang
istimewa bagi para arkeolog dan penggemar sejarah kebudayaan sebab Lambanan
adalah salah satu perkampungan tua yang
ada di Mandar, dan menjadi salah satu tempat penyebaran awal agama islam di
bumi Mandar. Dan ternyata pula bahwa daerah yang kehidupan sehari-hari warganya
nampak bersahaja ini menyimpan berbagai tempat yang unik lengkap dengan
mitosnya. Beberapa keunikannya akan saya buka dalam beberapa bagian tulisan
sesuai keterangan dari bapak kepala desa Lambanan yang telah menjabat selama
dua periode sebagai narasumber yang sempat kami wawancarai. Dan berikut adalah
bagian pertama.
1. Makam
To Salamaq
Berawal dari kedatangan seorang
penyebar agama islam di tanah ini pada kurun waktu 1600 masehi yang dikemudian
hari digelari To Salama Annangguru Malolo yang kemudian mengajarkan agama islam
kepada masyarakat setempat waktu itu yang belum bernama Lambanan. Dipercaya
bahwa sebelum beliau datang ke Lambanan, beliau terlebih dahulu berada di
kerajaan Gowa-Tallo. Dugaan saya, mungkin ada keterkaitan dengan Dato Ri
Bandang. Pertama kali beliau mengajak kepada masyarakat dimana beliau pertama
kali menginjakkan kaki di tanah Mandar, namun sayang masyarakat disana saat itu
masih enggan menerima kehadiran agama Islam dan meninggalkan agama kepercayaan
leluhurnya. Hingga kemudian tempat itu diberi nama Tamangalle yang berasala
dari penyesuaian kata bahasa Makassar “teai ero ngalle”atau “teai ngalle” yang
artinya tidak mau menerima. Suatu tempat yang kini berada dalam wilayah
kecamatan Tinambung, kabupaten Polewali Mandar. Oleh sebab itu Tosalama
Annangguru Malolo kemudian meninggalkan daerah pantai Tamangalle kearah
pegunungan. Beliau sempat heran ketika pertama kali mengetahui bahwa sebagian
besar kaum lelaki masyarakat Lambanan (saat itu belum bernama Lambanan) waktu
itu ternyata telah melakukan sunat (khitan) yang notabene berasal dari ajaran
Nabi Ibrahim AS. Sehingga disimpulkan bahwa ajaran agama tauhid telah menyentuh
wilayah Mandar jauh sebelum abad ke 17, meskipun mungkin belum sesempurna
sebagaimana risalah Nabi Muhammad SAW.
Kadatangan beliau disambut ramah
dan banyak masyarkat yang kemudian berbondong-bondong untuk menerima ajaran
beliau, dan beliau juga mendoakan kampung tersebut bahwa “tidak ada orang di
daerah itu yang akan mati berdarah / berkelahi, kecuali orang dari luar yang
datang dan membuat onar”. Dan do’a tersebut diijabah oleh Allah dengan tidak
adanya perkelahian sesama warga, meskipun apa yang menjadi persoalan sudah
betul-betul mencapai klimaks hingga kedua belah fihak sudah saling menghunuskan
senjata namun selalu saja ada hal yang membuat emosi mereka menjadi reda. Pun
demikian halnya ketika tanah Mandar memasuki era revolusi penjajahan atau
pemberontakan-pemberontakan.
Setelah beliau wafat, beliau
kemudian dimakamkan disebuah kompleks pemakaman tua. terlihat dari banyaknya
makam yang masih menggunakan batu-batu sungai dan kasar yang diletakkan berdiri
(mirip menhir namun dalam ukuran kecil) yang jika melihat arah makam memang
diperuntukkan oleh orang Islam.
Sampai saat ini diyakini pula
oleh masyarakat Lambanan bahwa kehidupan mereka saat ini juga merupakan berkah Allah
dari do’a To Salamaq Annangguru Malolo. Mengingat sumber daya alam pertanian
mereka sangat jauh jika dibandingkan dengan daerah lain, namun secara
keseluruhan masyarakat disana tergolong cukup dalam hal sandang, pangan dan
papan.
2. Mesjid
Lambanan.
Setelah beberapa lama mengajarkan
agama Islam, dan masyarakat pun semakin antusias menerima pengajaran dari To
Salamaq Annangguru Malolo. Dibuatlah kemudian sebuah mesjid yang sekiranya akan
dijadikan sebagai basis dakwah agama Islam. Mesjid yang dibangun oleh To
Salamaq Annangguru Malolo bersama masyarakat inilah yang kemudian diyakini oleh
para arkeolog sebagai mesjid pertama di tanah Mandar.
Pada masa lalu ketika masyarakat kerajaan
Balanipa sudah memeluk Islam secara keseluruhan, maka dipandang perlu untuk
membangun sebuah mesjid kerajaan. Dari kesepakatan dewan adat dan masyarakat
Balanipa, maka dibangunlah sebuah mesjid di daerah Tangnga-tangnga yang pada
waktu itu menjadi ibukota kerajaan. Untuk keperluan itu maka tiang sokoguru (posiq
arriang dalam bahasa Mandar) mesjid lama dibawa ke Tangnga-tangnga. Sehingga
jika ada yang merasa simpang siur dengan berita mesjid pertama di Mandar, maka
jawabannya adalah mesjid pertama di Mandar adalah yang ada di Lambanan
sedangkan yang ada di Tangnga-Tangnga juga adalah mesjid pertama namun sebagai
mesjid pertama kerajaan Balanipa. Jadi harus dibedakan mana mesjid pertama dan
mana mesjid kerajaan.
Posisi Lambanan sendiri dalam
struktur kerajaan Balanipa bertindak sebagai Kadhi (penasehat/hakim agama Islam).
Artinya setiap persoalan yang terjadi di dalam kerajaan Balanipa yang
menyangkut ihwal agama selalu menggunakan pemimpin masyarakat Lambanan sebagai
penasehat. Pemerintah dan masyarakat kerajaan Balanipa waktu itu sangat menghormati pemimpin agama Islam
bahkan hampir mensejajarkannya dengan jabatan raja sekalipun. Oleh karenanya,
tidak dibenarkan jika orang Lambanan diperbudak oleh bangsawan kerajaan.
Demikian pula jika diadakan pertemuan kerajaan, maka posisi pemimpin wilayah
Lambanan selalu berdampingan dengan posisi Maradia (baca:raja). Hal ini
berangkat dari pemahaman bahwa sesungguhnya kedudukan manusia dimata tuhan
adalah sama.
Keberadaan mesjid lama (baca:
tua) ini masih dapat dilihat hingga sekarang, namun sudah tidak terpakai sebab
telah pula dibangun mesjid yang baru. Pada awalnya masyarakat tidak lagi
menggunakan mesjid lama dikarenakan kerusakan yang terjadi akibat gempa bumi
sekitar tahun 60an yang membuat struktur bangunan dianggap berbahaya, apalagi
mesjid ini berdiri di bantaran sungai yang selalu tergerus. Meskipun telah
dilakukan renovasi pertama pada masa S. Mengga menjabat sebagai Bupati Polewali
Mamasa, nama Polewali Mandar sebelum pemekaran.
Setelah pendirian mesjid baru
ini, sempat terjadi kesalah fahaman di antara masyarakat Lambanan yang
menyebabkan sekitar 70 kepala keluarga atau 2/3 masyarakatnya waktu itu
memilih untuk pergi dan berdomisili di
wilayah yang sekarang dikenal dengan nama Galung Tulu atau Kappung Tulu dan
sebagian lagi berpindah ke desa Galung Lenggoq. Perseteruan ini berlanjut
kemudian dengan rebutan bedug asli mesjid tua antara mereka yang masih menetap
di Lambanan dan mereka yang telah pndah ke Galung Tulu. Perseteruan dalam
berebut Bedug asli Masjid Lambanan di pelopori oleh 2 tokoh yg sangat
berpengaruh saat itu. Abdullah (Kanneq Toko) yg mempertahankan Bedug tersebut
tetap di Lambanan, sedangkan Bani (Kanne Sokkoq Bone) yg menginginkan agar
Bedug asli dibawa serta ke Kappung Tulu. Sumber: -Hj.Malaeya (appona Kanneq
Paraqbaya) -Abd.Manan (appona Kanneq Paraqbaya) -Hj.Bahara (appona Kanneq
Sokkoq Bone) (keterangan dari Awang Mandar ). Dan lagi-lagi, apa yang
dinubuatkan terjadi. Meski kedua belah fihak memanas namun tidak terjadi
pertumpahan darah. Namun saat ini, perseteruan dimasa lalu itu sudah tidak
terjadi lagi. Hubungan antara mereka yang menetap di Lambanan dan mereka yang
menetap di Galung Tulu sudah terjalin kembali dengan harmonis.
Menurut informasi yang kami
dapatkan dari kepala desa Lambanan, bahwa saat ini sedang diusahakan untuk
melakukan renovasi bangunan mesjid dengan tetap mempertahankan arsitektur
lamanya.
3. Artefak
dan ritual peninggalan tradisi.
Sebagai salah satu kampung tua,
Lambanan mempunyai beberapa artefak bersejarah yang dimiliki oleh warga
setempat. Beberapa yang sempat kami terangkan menurut penjelasan dari kepala
desa Lambanan, diantaranya adalah kitab
tulisan tangan dari To Salamaq Annangguru Malolo. Kitab ini masih menggunakan
bahan kertas dari India dan ditulis dengan tinta India pula. Tulisan dalam
kitab ini menggunakan huruf arab serang berbahasa bugis serta aksara lontara.
Meski secara tersamar, namun dari pennjelasan tersebut dapat kami ambil
kesimpulan bahwa kitab tersebut berisi pelajaran-pelajaran tasawuf atau
tarekat. Ajaran – ajaran inilah yang diturunkan oleh To Salamaq Annangguru
Malolo kepada murid-muridnya.
Yang berikutnya adalah teks
khutbah asli yang ditulis oleh To Salamaq Annangguru Malolo. Berbeda dari kitab
yang dibahas di atas, media tulis teks khutbah ini menggunakan kertas yang
masih berbahan bambu dan berbahasa arab. Sampai saat ini, teks khutbah ini
masih sering dikeluarkan untuk dibacakan pada hari raya Iedul Adha termasuk
hari raya tahun ini 1435 H. atau 2014 M.
Ada mitos yang lahir dari kitab
ini yaitu siapa saja mengambil serpihan kertas dan menelannya maka dipercaya
bahwa orang tersebut akan memperoleh kekebalan atau kulitnya tidak akan mempan
terhadap senjata tajam. Karena mitos
yang diyakini sebagian masyarakat inilah sehingga perangkat mesjid begitu
waspada dan berhati-hati saat mngeluarkan teks khutbah ini untuk dibacakan.
Di Lambanan terdapat pula
peninggalan dari Pappuangang Luyo yaitu sebilah keris berluk 7 dan luk 13 yang
disimpan oleh salah satu warga. Sayang karena keterbatasan waktu, artefak yang
kami sebut di atas tidak dapat kami lihat secara langsung saat kunjungan
tersebut.
Selain peninggalan berupa artefak
sebagaimana telah kami sebutkan sebelumnya, di Lambanan juga masih terdapat
tradisi ritual agama yang unik dan tidak terdapat di daerah lain. Salah satunya
adalah ritual baca do’a Neneta Adam yang dilaksanakan setiap malam 10 Muharram.
Tidak dijelaskan oleh narasumber sejak kapan ritual ini mulai diadakan, namun
beliau menjelaskan bahwa prosesi ini menyimpan suasana mistis hingga pernah
mengejutkan istri salah satu bupati Polman yang menyempatkan untuk menyaksikan
prosesi ritual baca do’a Nene ta Adam ini.
Ritual ini dijalankan oleh tujuh
orang pemuka agama Lambanan sebagai pemeran kunci acara, menggunakan tujuh
macam kue tradisional yang dialasi dengan daun pisang pilihan. Daun pisang yang
terpilih haruslah merupakan daun pisang yang pelepahnya terpanjang di Lambanan
dan utuh alias tidak boleh cacat atau sobek. Ada berbagai makna penyimbolan
dari segala property yang digunakan. Mulai dari penggunaan jumlah tujuh yang
dimaknai sebagai lingkup ruang kosmos, yang terdiri dari tujuh lapis langit dan
tujuh lapis tanah, pada saat melaksanakan thawaf di Ka'bah sebanyak tujuh
putaran, bagain tubuh yang menandai sujud sebanyak tujuh serta banyak lagi yang
tidak dapat kami sebutkan. Pemilihan waktu malam tanggal 10 Muharram pun
dipilih karena diyakini bahwa pada tanggal 10 Muharram terjadi banyak
peristiwa-peristiwa luar biasa yang dikenal oleh ummat Islam. Lalu mengapa
menggunakan nama “Nene ta Adam” yang jika diterjemahkan kebahasa Indonesia
berarti Nenek kita Adam, sementara dalam bahasa Mandar sendiri, nenek disebut
dengan kanneq?. Saya hanya bisa menarik menyimpulkan, bahwa dari sekian ikon
simbolik yang digunakan oleh masyarakat Selebes (Sulawesi) baik yang sempat
kami sebutkan di sini atau tidak. Terdapat benang merah bahwa sesungguhnya
masyarakat Selebes berasal dari satu rumpun yang satu dan kemudian terpecah
menjadi suku-suku seperti yang kita temui sekarang. Bahwa Makassar, Bugis,
Mandar dan Toraja sesungguhnya adalah “bambu” yang pecah.
Ritual yang kedua adalah
sambayang annang (shalat enam). Ritual ini biasanya dilakukan pada malam hari
setelah lebaran dan menggunakan enam orang sebagai pemeran kunci yang jika
tidak hadir salah satunya maka acara tidak dapat dilaksanakan. Sebagaimana ritual
baca do’a nene ta Adam, sambayang annang pun memiliki kandungan makna
penyimbolan yang amat dalam. Namun karena ini berkaitan dengan keyakinan dan
kebatinan, maka kami tidak dapat menyebutkannya di sini.
4.
Negeri
seribu cerita.
Sebagai negeri tua, Lambanan
tentu tidak lepas dari cerita dan tempat-tempat berbau mistik. Selain dari yang
telah disebutkan sebelumnya, Lambanan masih memiliki beberapa tempat dengan
ceritanya masing-masing. Lambusang adalah tempat dimana orang-orang yang baru
akan memasuki desa Lambanan harus meletakkan batu kecil. Peletakan batu kecil
tersebut dianggap sebagai permohonan izin untuk memasuki perkampungan desa
Lambanan, kepada sosok “penjaga” perbatasan. Menurut cerita, sungai yang berada
di dekat rumah-rumahan di mana batu tersebut biasanya diletakkan, dihuni oleh
sosok wanita cantik yang dulunya berprofesi sebagai penari di kerajaan
Balanipa. Hingga suatu saat, entah bagaimana ceritanya sehingga sang penari
tersebut terjatuh ke sungai hingga hanyut dan jenazahnya tidak pernah ditemukan
hingga hari ini. Nah konon, arwah wanita penari ini sering menampakkan diri, ia
akan mengganggu pelintas yang tidak meletakkan batu. Namun nampaknya kisah ini
sudah tidak berlaku saat ini, sebab ketika kami memasuki perkampungan desa
Lambanan tak satupun dari kami yang meletakkan batu kecil. Tapi alhamdulillah,
tak terjadi apa-apa terhadap kami. Wallahu a’lam bissawab.
Sumur Pandaq adalah sumur tua
yang juga ada di Lambanan, karena di tempat itu terdapat tiga buah sumur yang
saling berdekatan, sehingga sumur tersebut juga kadang disebut dengan passauan
tallu (tiga sumur). Menurut keyakinan beberapa orang, bahwa mandi atau mencuci
muka di sumur ini bisa memudahkan dalam urusan jodoh, dan konon sudah terbukti
pada beberapa orang. Sehingga oleh sebagian orang, sumur ini juga dinamai
dengan sumur jodoh. Dari ketiga nama itu, mungkin passauang tallu (sumur tiga)
dan sumur jodoh adalah nama yang sudah diketahui dasar penamaannya.
Berikut ini
adalah cerita kenapa sumur ini disebut juga passauang Pandaq. Dahulu kala
ketika musim kemarau melanda desa Lambanan, oleh rapat para sesepuh maka
diputuskan untuk menggali sebuah sumur yang sekiranya akan dimanfaatkan sebagai
sumur umum, dan ditentukan pulalah titik lokasi penggalian sumur tersebut.
Beberapa kali alat gali ditancapkan, maka keluarlah sedikit mata air. Namun
kemudian semakin dalam penduduk menggali, debit air bukannya bertambah tapi
malah semakin berkurang dan akhirnya hilang sama sekali. Kemudian titik
penggalian dipindahkan ke tempat yang tidak terlalu jauh, hanya beberapa meter
dari titik gali sebelumnya. Namun kejadian serupa kembali terjadi, hingga titik
gali kembali dipindahkan. Sayang, kejadian yang pertama pun kembali terulang
hingga ketiga kalinya. Melihat kejadian ini, tampillah seorang penduduk yang
mencoba untuk mengadakan kembali mata air yang hilang dari sumur yang telah
digali tersebut. Ia pun pergi kesungai Ulu Mandaq yang ada jauh di pedalaman
Majene sekarang. Ia mengambil air sungai dengan menggunakan selembar daun yang
dibentuk kerucut mirip dengan corong untuk menampung air tersebut. Sekembalinya
di Lambanan, ia pun menuju ke tempat sumur yang sudah digali namun tidak
mengeluarkan air tadi dan melakukan ritual memanggil air dari Ulu mandaq dengan
sarana air sungai yang sebelumnya ia ambil. Alhasil, ketiga galian tadi pun
perlahan-lahan mengeluarkan mata air dengan debit yang cukup memenuhi
kebutuhuan warga lambanan. Debit air di sumur inipun tidak pernah kering meski
kemarau sedang panjang. Dan dari situlah orang tadi kemudian lebih dikenal
dengan nama I Pandaq, dan ketiga galian sumur tadi diberi nama sumur Pandaq
atau passauang pandaq. Wallahu a’lam bissawab.
Selain itu, di lambanan juga
terdapat kompleks pemakaman yang salah satu makamnya diyakini sebagai makam I
Lamber Susu yang merupakan keturunan dari Pongka Padang, leluhur sekaligus
cikal bakal manusia di Mandar. Konon dinamai I Lamber Susu sebab beliau memiliki
(maaf) payudara yang panjang, hingga jika ia akan menyusui anaknya maka
payudaranya akan diselempangkan dipundak hingga (maaf) putingnya bisa diraih
dan disusui oleh anaknya dari belakang. Wallahu a’lam bissawab.
Demikianlah kisah dari Lambanan
yang kami peroleh dari perjalanan singkat yang kami lakukan beberapa waktu
lalu. Semoga apa yang kami tuliskan bisa membuka wawasan kita tentang keunikan
salah satu yang ada di Polewali Mandar. Serta mengajak kita untuk menggali
kembali beberapa kearifan lokal dalam simbol yang dihadirkan dalam beberapa
ritual religius maupun cerita – cerita yang mungkin berbau mitos. Dengan penuh
kerendahan hati kami akui jika dalam tulisan-tulisan kami masih terdapat banyak
kekurangan dan besar harapan kami jika sekiranya ada yang berkenan memberi
masukan kepada kami mengenai tulisan ini. Sebelum dan sesudahnya kami ucapkan
terima kasih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar