Beberapa tahun belakangan ini, seiring
dengan semakin gencar masuknya budaya luar yang masuk ke dalam negeri kita.
Dimana akibat yang sangat dirasakan baik secara langsung maupun tidak langsung
adalah penurunan nilai moral dan etika kesusilaan yang dilakukan berbagai
kalangan. Sejak dari rakyat biasa hingga pejabat, dari anak usia sekolah hingga
manula yang sudah bau tanah kadang masih saja terlibat dengan perbuatan tak
beradab.
Entah oleh desakan para budayawan atau
karena kesadaran yang lahir dari jiwa para pemangku jabatan pemerintahan, maka
penggiatan dan pelestarian budaya seolah menjadi sebuah euforia yang dalam
beberapa pelaksanaannya kemudian justru terlepas dari pakem yang seharusnya. Sehingga
budaya tradisional yang seharusnya menjadi sumber kearifan lokal justru bisa
menjadi hal yang pelaksanaannya dibenci karena dianggap sebuah penindasan.
Sebut saja pemecahan rekor MURI untuk pembuatan
kain sutera terpanjang beberapa waktu lalu yang dianggap oleh beberapa teman
sebagai kegiatan yang tidak berakar dari kenyataan nyata dilapangan, dimana
kita membanggakan daerah kita sebagai penghasil kain sutera terbaik padahal
dimasyarakat, penenun malah lebih banyak menggunakan sutera imitasi karena memproduksi
kain tenun sutera asli terasa begitu berat dan pemasarannya pun terbatas karena
harga yang begitu tinggi.
Lalu masih tentang pemecahan rekor MURI
untuk kategori kuda menari atau saeyyang pattuqduq terbanyak yang memang tidak
sesuai aturan atau pakemnya dimana seharusnya pessawe adalah mereka yang sudah
khatam Al-Qur’an.
Selain itu disela-sela pelaksanaan parade,
nampak pula salah satu rombongan yang membawa perlengkapan balasuji yang tidak
sesuai pakemnya.
Sehingga hanya karena terbuat dari bilah bambu yang disulam segi empat saja
yang membuat orang-orang tau kalau itu namanya balasuji. Sementara dari segi
nilai, sungguh sangat hambar karena tidak menyimbolkan apapun.
Yang terakhir, ketika hari ini (Minggu,29
Desember 2013) salah seorang teman memberi informasi dan sebuah foto tentang
pegawai SPBU Polewali yang menggunakan pakaian adat mandar dalam bertugas
melayani pelanggan. Dalam fikiran saya bahwa karyawan SPBU ini tentu
menggunakan pakaian adat karena perintah atasan dan bukan kemauan sendiri,
apalagi ini masih dalam rangka memeriahkan ulang tahun Polewali Mandar. Bisa
dibayangkan bagaimana repot dan gerahnya para karyawan yang menggunakan beskap
(jas tutup) berdiri melayani pelanggan selama berjam-jam belum lagi jika panas
matahari ikut menyengat. Tentu tidak kalah susahnya bagi karyawati yang
diharuskan menggunakan sanggul, gallang balleq dan aksesories pakaian adat
lainya. Apakah pemilik SPBU tersebut tidak berfikir manusiawi sehingga rela
memperlakukan karyawan dan karyawatinya seperti itu demi sebuah kalimat
“mangakuaq Polman” (saya akui Polman).
Budaya seharusnya dinilai secara bijak
sebagaimana budaya itu sendiri selalu mengajarkan tentang kebijakan dan
kebajikan meski hanya lewat sebuah simbol. Agar generasi muda nantinya
betul-betul bisa menyatu dengan budayanya dan melaksanakannya dengan penuh
keikhlasan. Bukan hanya karena perintah atasan atau adanya iming-iming tip
tambahan. Sebab tentu yang kita inginkan adalah bagaimana agar budaya itu
menjadi pembendung adanya pengaruh negatif yang dibawa oleh budaya luar yang
tidak sesuai dengan adat ketimuran yang mengedepankan sopan santun atau dalam
bahasa lokal dinyatakan sebagai sikap sipakatau, siparaya.
Pemerintah Polewali Mandar yang diakui
sebagai kabupaten yang begitu sering melaksanakan event-event budaya seharusnya
bisa mengajak para budayawan untuk duduk bersama dalam setiap event yang akan
diadakan. Agar para budayawan bisa memberi masukan bagaimana seharusnya
memperlakukan budaya.
Betapa senang dan semangatnya anak-anak
mandar untuk pergi mengaji, jika menunggangi kuda pattuqduq diberikan secara
istimewa hanya bagi mereka yang telah khatam Qur’an.
Betapa mesranya hubungan sesama
masyarakat dan hubungan rakyat dengan
pemerintah jika balasuji bisa menghadirkan simbol keselarasan pemerintahan yang
mana kemudian disertai dengan pemahaman oleh segenap penghuni negeri.
Meskipun pada dasarnya hal itu juga tidak
bisa menjamin, namun setidaknya ada usaha untuk memperbaiki kualitas masyarakat
yang dalam realitanya semakin hari semakin terpuruk karena mulai kehilangan
identitas budayanya. Jika saja pelestarian budaya berangkat dari hati yang
ikhlas, lalu dijalankan dengan ikhlas maka insya allah hasil yang didapatpun
akan melebihi dari pada apa yang diharapkan.
Semoga dengan hadirnya tulisan ini, kita
bisa sama-sama belajar untuk terus menggali pesan-pesan kebijakan dan kebajikan
yang diwariskan leluhur kita. Dan tidak sekedar melaksanakannya secara
serampangan hanya untuk sebuah gelar yang bernama rekor yang justru kemudian
malah menenggelamkan arti dan nilai kearifan warisan leluhur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar